![]() |
Photo by: Agassi |
Nggak ada sesuatu yang mustahil. Selama kita mau, pasti ada jalan.
Kata-kata itu pasti sering kita dengar atau baca di banyak literatur. Kata-kata yang gampang diucapkan, pun untuk mengetiknya saya cuma butuh waktu kurang dari satu menit. Yang susah, tentunya, melakukannya.
Saya bukan lagi membicarakan orang lain. Saya lagi mau berbagi yang terjadi pada saya sekitar enam bulan belakangan. Karena, semua yang saya alami dan miliki sekarang rasanya begitu mustahil terwujud. Tapi, karena saya percaya, nggak ada hal yang mustahil. Maka, yang saya lakukan cukup menanamkan keinginan saya kuat-kuat, berdoa, dan berusaha yang terbaik.
"Aku nggak mau menghabiskan tahun baru tahun depan sendirian lagi. Aku mau menghabiskannya sama kamu."
Dimulai dari kata-kata yang saya ucapkan ke pacar saya, sekitar enam lalu, hidup saya berubah. Kami berdua yang berasal dari latar belakang dan tradisi berbeda melewati banyak hal yang tampaknya begitu mustahil.
Penolakan kuat beberapa kali datang dari keluarga saya. Latar belakang agama yang kuat dari keluarga saya membuat mereka nggak bisa menerima keputusan saya untuk menikahi pacar saya yang berbeda agama. Keluarga saya kaget, gegar budaya, dan nggak siap menghadapi hal baru ini yang saya bawa ke keluarga saya.
Tekanan dan konflik pun bergantian datang. Walau beberapa paman dan tante saya ada yang mendukung saya, nggak jarang juga saya menerima pesan singkat via telepon atau pembicaraan empat mata yang meminta saya urung niat atau bahkan menjatuhkan semangat saya karena saya dianggap anak yang tak layak dicontoh keluarga.
Mendapati tekanan dan konflik ini, saya dan pacar saya pun bukanlah dewa. Kami berdua juga beberapa kali harus meregang dan berkonflik karenanya. Tapi, lagi-lagi, kami percaya atas apa yang sudah kami niatkan, maka sekuat tenaga kami mengembalikan laju kendaraan kami lagi ke jalur dan tujuan yang sudah kami niatkan.
Saya akhirnya berterima kasih banyak pada keluarga saya yang akhirnya mau menerima keputusan saya. Walau saya tahu, sangat berat rasanya, tapi saya bangga, keluarga inti saya, terutama Ibu saya punya hati yang besar untuk menerima perbedaan keputusan yang saya ambil. Hal-hal yang tadinya tampak mustahil pun akhirnya mulai menemukan jalan.
Begitu pula terjadi pada persiapan pernikahan saya. Kebetulan, saya dan pacar saya sengaja memilih mengurus pernikahan sendiri. Itu sebabnya, kami memutuskan untuk minta bantuan teman-teman terbaik kami untuk mewujudkan pernikahan kami berjalan seperti niatan kami.
Konflik batin hebat melanda pikiran saya. Yang saya tahu, keputusan saya menikahi pacar saya ini nggak cuma ditentang keluarga saya, tapi juga teman-teman baik yang saya kenal lama. Ya, ada saja teman yang menghilang dan menjauhi saya untuk soal ini.
Maka, awalnya saya agak ragu untuk memilih siapa teman yang dengan kerelaan hati masih mau membantu saya. Tapi, dengan kepercayaan yang saya punya, saya move on dari memikirkan teman-teman saya menolak keputusan saya ini dan mulai meminta tolong pada teman-teman terbaik saya lainnya.
Setelah pacar saya memilih teman-teman terbaiknya, seperti Dhiska dan Didit, Mba Anil, dan Idho. Saya pun memilih teman terbaik saya, Seruni, Rian, dan Agassi. Tiga orang yang saya pilih ini memang bukan orang sembarangan. Selain saya tahu cara kerja mereka yang hebat di kantornya, mereka adalah teman-teman seperjuangan saya semasa dulu masih bekerja di majalah remaja pria. Tiga orang inilah yang dari awal saya berikan kepercayaan mendengar curhat tentang hubungan saya dan pacar saya. Ya, no doubt, they're our Bestmen and Bridesmaid.
Ah ya, tapi, memilih tujuh orang ini sebagai orang-orang terbaik kami bukanlah tanpa risiko. Dengan kapasitas mereka sebagai orang hebat di kantornya masing-masing membuat jadwal mereka bekerja padat sekali. Sulit untuk menentukan waktu berkumpul bersama mereka untuk rapat bareng. Pacar saya sempat sampai stres sendiri menjelang pernikahan mengingat sulitnya waktu untuk mempersiapkan tujuh orang hebat ini.
Untungnya, tujuh orang ini layaknya tujuh kurcaci hebat seperti di kisah dongeng Putri Salju. Walau cuma rapat tatap muka sekali di awal pembentukan panitia, briefing update via Whatsapp dan email, dan rapat terakhir di malam sebelum resepsi, semua rencana kami berjalan lancar. Bahkan beyond expectation.
Mertua saya sampai beberapa kali mengacungkan jempol sebagai review-nya. Mulai dari komentar hebat dari cekatannya Mba Anil menangani beberapa pekerjaan sekaligus, sabarnya Neng Dhiska mengurus konsumsi seluruh tamu, kompaknya Agassi dan Didit mengurus perintilan dan rundown acara, rempong-nya Jeng Idho yang mengurus keluarga pacar saya, koordinasi mantap dari Rian yang jadi Ketua Panitia, hingga kesabaran dan murah senyumnya Seruni meski lagi hamil muda.
Nggak ada hal yang mustahil, dan semua yang saya dan pacar saya impikan enam bulan lalu pun akhirnya jadi kenyataan.
Saya dan - sekarang - istri saya yakin, ini adalah awal perjalanan kami. Langkah kami di dunia yang baru yang pasti akan banyak petualangan dan aral melintang baru. Bahkan untuk hal-hal yang belum kami prediksi. Tapi, sekali lagi, kami percaya nggak ada hal yang mustahil di dunia ini. Selama kami mau dan percaya kami bisa mewujudkannya, kami yakin selalu akan ada jalan untuk kami. Termasuk untuk bisa tersenyum penuh rasa saling cinta melihat keluarga kami tumbuh bahagia, hingga akhir usia kami.
Sekali lagi, terima kasih untuk semua orang yang sudah berbesar hati mewujudkan hal-hal mustahil ini jadi nyata bagi kami. Nothing could reply all your kindness, but God's bless. Amin.
Assalamu'alaikum.. gmn kbr a mate? afwan critanya excited bnget y a:) klo boleh tny mngenai crta dlm blog ini, ltar blkng agama yg brbeda itu gmn kk? beda keyakinan kah?
ReplyDeleteWaalaikumussalam... Kabar baik :) Kok 'afwan'? Emg 'anonymous' salah apa? Iya, kami beda agama
ReplyDeleteNikahnya di gereja mana?
ReplyDeleteSaya ga nikah di gereja broh
DeleteOk goodluck
Delete