Pages

03 February, 2016

Kisah Driver Go-Jek

Foto: malesbanget.com (soalnya Go-Jek yang saya tumpangi nggak pakai jaket atau helm Go-Jek)


Pagi ini saya berkesempatan menjajal Go-Jek. Ah iya, walau saya pernah menulis tentang Go-Jek dan bahkan beberapa kali menyebutnya di Twitter saya, sekalipun saya belum pernah dibonceng oleh pengendara Go-Jek.

Maklum, saya masih tipikal orang yang menganut paham, bawa motor atau kendaraan sendiri adalah jauh lebih murah ketimbang naik angkutan umum. Selain itu, dengan bawa kendaraan sendiri pula, saya jadi merasa nggak perlu tergantung orang lain dengan menunggu-nunggu angkutannya datang.

Ya, buat saya yang terbiasa untuk melakukan semuanya sendiri, kadang tergantung sama seseorang itu bikin repot. Ada saja hal yang nggak pas sama yang biasa kita lakukan.

Misalnya pas naik Go-Jek itu. Berulang kali saya bilang sama tukang Go-Jek-nya untuk nggak mengambil jalur TransJakarta, tapi tetap saja si abang Go-Jek-nya mengarahkan setang kemudinya ke jalur tersebut. Lalu, entah kenapa driver Go-Jek ini selalu memilih jalur cepat di sebelah kanan. Padahal, saya sudah bilang, pilih jalur kiri saja. Maklum, jalan dari Cengkareng ke Daan Mogot itu sisi kiri yang lebih kosong karena jalur kanan banyak u-turn.

Lelah mengomentari cara berkendara driver Go-Jek ini, saya pun menyerah dan memilih diam. Yang penting, saya selamat sampai kantor dan pas waktunya, saya membatin.

Lucunya, begitu saya diam, barulah mas-mas Go-Jek yang sepertinya umurnya baru memasuki 20 tahunan ini mulai beberapa kali minta pendapat saya soal pilihan jalan yang mau dia ambil. Seperti, pertanyaan apakah lebih baik masuk jalur TransJakarta agar lebih cepat atau nggak, hingga apakah meminta izin bolehkah agak mengebut karena jalanan sudah mulai kosong.

Sambil senyam-senyum karena akhirnya driver Go-Jek ini mulai mempertimbangkan saran dari konsumennya, saya sempat terpikir. Sebenarnya saya salah juga terus-terusan mengomentari cara menyetir driver Go-Jek yang saya tumpangi. Dengan menyetujui memesan Go-Jek, sebenarnya sudah ada kesepakatan tak langsung bahwa kita sudah menyerahkan urusan perjalanan kita padanya. Sama seperti kita menumpang di angkutan umum. Yang penting, KPI sang pengendara adalah bisa mengantar penumpangnya selamat sampai tujuan dan di waktu yang tepat.

Sayangnya, saya nggak berani mempercayakan soal ini sejak awal ke driver Go-Jek yang saya tumpangi. Saya, yang merasa lebih akrab dan master soal lalu-lintas Cengkareng-Semanggi-Mega Kuningan, merasa semua yang dilakukan driver Go-Jek adalah salah jika ada saja sedikit yang nggak sesuai seperti apa yang biasa saya lakukan.

Yah, begitulah kita. Saat kita merasa lebih bisa melakukan satu hal atau pernah lebih dulu melakukan suatu hal, biasanya akan timbul rasa bahwa kitalah yang paling bisa, paling benar. Dan, kalau ada orang lain yang mau melakukan hal yang pernah kita lakukan, sebaiknya bertanya pada kita atau mengikuti cara kita. Kalau ada yang nggak sesuai seperti yang pernah kita lakukan, kita langsung merasa orang lain itu salah dan kita merasa harus segera membuat orang tersebut bertindak seperti yang pernah kita lakukan. Agar ujungnya berhasil seperti kita.

Kita sering, kok, menemukan ini. Paling umum, kita bisa menemukannya di orangtua kita. Adik perempuan saya, sampai saat ini masih agak sungkan untuk masak saat ada Ibu saya di dekatnya. Alasannya, tiap kali mulai masak, pastilah Ibu saya berkomentar ini-itu. Apalagi kalau ada hal berbeda yang adik saya lakukan dari kebiasaan memasak adik saya.

Bapak saya pun sama. Berhubung bapak saya dulu anak Pramuka, dia selalu berkomentar tiap kali saya mengikat sesuatu dengan tali. Pasti saja ada komentarnya seperti ini, "Simpul nggak gitu," atau, "Nggak akan kenceng kalo kamu ngiketnya gitu."

Dulu, waktu saya memegang suatu tim di pekerjaan saya, dimulai dari saya jadi Editor lalu Managing Editor, saya suka 'gatal' sendiri kalau melihat ada tim saya yang kerjanya lamban, lalu caranya sepertinya nggak tepat karena beda dengan cara peliputan yang saya lakukan. Ya, rasanya sama seperti yang saya alami dengan 'supir' Go-Jek tadi.

Tapi, sebagai orang yang merasa lebih expert atau pernah lebih dulu melakukan, rasanya memang kita nggak adil kita terus membombardir seseorang dengan komentar saat orang tersebut mau mengerjakan sesuatu.

Mungkin, maksud kita baik, agar orang tersebut nggak salah langkah atau bisa mengambil jalan yang paling efisien. Namun, di lain sisi, niat baik kita ini justru bisa menghalangi seseorang untuk bisa bebas mengeksplor dan berkreasi dengan hal-hal baru.

Bukankah untuk menuju Mega Kuningan dari Cengkareng jalannya nggak cuma lewat Daan Mogot atau Semanggi? Bukankah untuk mengikat sesuatu ada banyak cara dan simpul yang bisa kita gunakan? Bukankah untuk menyelesaikan satu target pekerjaan, ada banyak pendekatan dan metode yang bisa dilakukan?

Berbeda cara bukan selalu berarti menuju kegagalan. Berbeda cara bisa jadi malah mengarahkan kita pada hal baru yang mungkin lebih baik.

Sebagai pemimpin tim dulu, akhirnya saya mencoba menggunakan pendekatan ini. Yang saya lakukan adalah coaching. Saya memantau tim saya dari jauh, melihat gerak-geriknya, memberikan ruang untuknya bertanya pada saya, memberinya solusi jika menemukan kendala, memotivasinya jika tersandung di satu atau dua hal, dan, terakhir, cepat-cepat memberinya tepukan ringan di bahu jika terlihat jalan yang ia pilih seakan menuju kegagalan tanpa judgement sedikit pun.

Susah. Sesusah saya akhirnya pagi tadi merelakan pilihan jalan dan cara berkendara ke driver Go-Jek yang saya order. Toh, dengan saya diam, si driver ini akhirnya merasa punya ruang untuk bertanya dan sampai akhirnya dia sukses mengantarkan saya dengan selamat dan tepat waktu sampai tujuan.

Kamu punya cerita yang sama? Atau, pengalaman berbeda?



6 comments:

  1. Aduh kak ... Kamu bawal juga yaaa, kan kasihan abang gojek nya hahaha.
    Dan gw setuju oaling enak bawa kendaraan swndiri jd ngak bergantung

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ikan kali kak bawal :D
      Iyah, bergantung itu nggak enak bgt!

      Delete
  2. Replies
    1. Pasti. Selalu ada pelajaran dari tiap hembusan napas kita :D

      Delete
  3. Langsung keinget pak budi pake baju pramuka :)

    ReplyDelete