Saya sadar judul di atas bisa memicu ambiguitas dan kekesalan sebagian besar dari kita. Namun, inilah cara saya menarik Anda semua untuk mau membaca tulisan ini.
Clickbait? Hmm..., nggak sepenuhnya, sih. Namun, mungkin iya juga. Sebab, jika Anda baca tulisan saya secara cepat, terburu-buru, dan dengan penuh subjektivitas, kesimpulan yang Anda dapatkan besar kemungkinan akan sama dengan judul yang saya pilih.
Namun, oke, lah. Daripada kita berlama-lama membahas judul, izinkan saya untuk membuka cerita tentang buah pikiran saya ini.
Ceritanya bermula dari pertanyaan yang menggelitik istri saya. Sebagai seorang Katolik, Tika selalu bingung dengan kenyataan yang terjadi di Muslim kebanyakan, betapa etos hidup kita itu rendah. Yang saya sebut etos hidup ini artinya keinginan untuk hidup baik, layak, dan nyaman. Nggak perlu sampai kaya atau bergelimpang harga, cukup dengan hidup berkecukupan saja.
Hal ini terlihat dari kebanyakan kita yang lebih suka mencari rezeki secukupnya atau malah nggak masalah jika nggak bisa memiliki benda-benda keduniawian.
Pertama kali saya mendapat pertanyaan ini dari istri saya, jawaban yang saya berikan adalah karena kebanyakan dari kita sering mendapat ceramah oleh ustaz tentang hidup yang sederhana. Bahkan, kita sering dicontohkan tentang kehidupan Nabi Muhammad dulu yang serba kelaparan, kadang nggak punya duit untuk masak di dapur, dan lain sebagainya. Bukan sebaliknya, menceritakan tentang betapa kayanya Beliau yang memiliki unta merah dan lain sebagainya.
Hal ini beda sekali dengan non-Muslim, yang mungkin sering kita labeli dengan suku tertentu, yaitu keturunan Tionghoa. Mengejar dunia untuk kelayakan hidup, bahkan sangat dianjurkan, hingga jadi kurikulum dalam 'kursus' persiapan pernikahan Katolik yang disampaikan oleh pemuka agama di gereja. Iya, kalau mau berkeluarga, harus siap untuk memberikan penghidupan ekonomi yang layak bagi keluarga yang dibangun. Sebegitunya ditanamkan pondasinya.
Tampaknya, jawaban pertama saya tersebut nggak cukup memuaskan rasa penasaran sehingga Tika terus menanyakan hal yang sama berulang-ulang tiap menemukan fakta yang sama. Hingga akhirnya, baru-baru ini kami berdua menemukan isu yang sedang hype di social media, seputar pendidikan anak.
Di Twitter, sempat beredar tweet yang berkomentar tentang pendidikan yang penting bagi anak adalah pendidikan agama. Yang penting adalah anak itu bisa mengaji dan menghapal Alquran. Pendidikan formal seperti pelajaran Matematika atau Fisika, bahkan memenangkan kejuaraan di bidang akademis itu nggak penting. Sia-sia.
Kenapa?
Ada pemirsa di sini yang bisa menjawab?
Yak, Anda benar. Alasannya adalah karena pendidikan akademis dan segudang prestasi akademis lainnya itu nggak akan dibawa mati, nggak akan ditanya di alam kubur, dan nggak akan terpakai untuk masuk surga.
Ada yang setuju dengan pemikiran ini? Saya setuju. Kalau, melihatnya cuma sejajar garis lurus jembatan penyeberangan. Namun kalau kita lihat lebih luas, dengan kompleksitas kehidupan dan ilmu agama yang lebih mendalam, pemikiran ini TOTALLY WRONG.
Namun, kali ini kita lagi nggak membahas tentang benar-salahnya pemikiran tersebut. Kita sedang membahas seputar efeknya 'terlalu percaya akhirat'. Iya, seperti judul tulisan ini.
Saya akhirnya menyadari, betapa kita, seorang Muslim, sudah berhasil dijejali dan 'dicuci otak' sejak kecil tentang kehidupan akhirat yang kekal dan jadi tempat tujuan terakhir kita. Kehidupan yang sekarang kita jalani adalah fana dan akan berakhir seiring tutupnya usia kita.
Pemikiran ini bagus. Karena di satu sisi mengingatkan kita tentang sebuah tanggung-jawab untuk berbuat kebaikan sebagai tabungan di kehidupan kekal nantinya. Sayangnya, persepsi kita akan konsep ini seringkali malah melihat sisi satunya lagi, yaitu: 'ya udahlah hidup nggak usah ngoyo, wong cuma sementara. Sing penting iso mangan'.
Kita terjebak dalam pemikiran sederhana bahwa nggak perlu hidup begitu keras karena semua ini akan berakhir. Dan ini berefek ke semua sendi kehidupan kita.
Nggak berhasil dalam ekonomi, nggak masalah. Beramal saja. Nanti kaya pas di surga.
Nggak bisa beli mobil nggak apa-apa. Rajin sedekah saja. Nanti bisa punya mobil di surga.
Nggak usah sekolahin anak-anak tinggi-tinggi. Nggak dipakai di surga.
Nggak usah punya pasangan cantik atau rupawan. Nanti ada bidadari di surga.
Dan yang lebih parah lagi, ini juga menyangkut soal keinginan untuk hidup sehat berkualitas. Kita, para Muslim, nggak masalah ketika kulit sudah mulai longgar, rambut mulai beruban, gigi mulai bolong atau lepas dimakan usia, atau malah sering sakit-sakitan seiring umur bertambah tua. Semua karena apa? Karena keyakinan, hidup ini sementara, nanti juga mati.
Kita jadi makhluk yang pasrah menerima nasib dan waktu yang 'menggerogoti' kita.
Etos hidup ini yang beda banget dengan yang saya lihat dari Tika dan keluarga istri saya. Contoh paling dekat adalah dari soal kesehatan gigi. Jujur saya akui, otak saya masih tercekoki pemikiran bahwa hidup ini fana, fisik akan menua, dan rapuh. Jadi, ketika di usia sekarang gigi saya mulai beberapa bolong dan rontok, saya berpikir, 'ya sudah, memang sudah waktunya'.
Beda dengan yang Tika pikirkan. Dia justru berpikiran, justru sedari sekarang saya harusnya menjaga gigi saya. Harus rajin dirawat. Makan dengan cara yang benar. Juga, harus mulai ke dokter. Tujuannya apa? Agar kualitas hidup saya naik. Kenapa perlu kualitas hidup saya naik? Karena saya perlu memastikan keluarga saya bisa tetap hidup layak dengan penghidupan dari saya dan saya nggak perlu jadi orang tua yang merepotkan ketika saya tua kelak.
Saya nggak perlu jadi orang tua yang jompo, sakit-sakitan, yang menghabiskan banyak uang untuk berobat atau bergantung pada anak atau keluarga karena disabled.
Pemikiran ini indah bagi saya. Ketika memikirkan alur pemikiran Tika, saya langsung membayangkan sosok saya di usia 60 tahun sebagai kakek yang mapan, masih ganteng, suka naik motor dan berjaket perlente kemana-mana, masih sanggup menenteng kamera untuk memotret, atau bahkan masih kuat menggendong Tika ke tempat tidur. See? Beautiful, isn't it?
Bukanlah pemikiran yang salah untuk percaya pada akhirat. Namun bersikap pasrah, itu yang salah. Bukankah dengan nggak bersikap pasrah dan tetap bugar hingga tua justru memberikan kita kesempatan untuk bisa 'beramal' dan berbuat baik lebih banyak? Bukankah itu memberikan kita waktu untuk 'menabung' pahala lebih banyak?
Banyak hal baik lainnya yang saya temukan menarik dari pemikiran non-Muslim ini. Dari soal ekonomi, mereka jelas mempersiapkan sebaiknya agar kehidupan menjadi layak. Dan ini indah. Bayangkan, jika kita kaya, punya mobil, punya rumah mewah, berapa banyak amal baik yang bisa kita lakukan? Hei, kita bisa menyumbang orang, membangun masjid, membangun panti asuhan, membangun jalan raya, membangun sekolah, dan laiiin sebagainya.
Ketika kita nggak pasrah akan pendidikan anak, tapi merencanakannya dengan baik, kita bisa membuat kemampuan akademik mereka menjadi jalur amalan baik mereka. Hei, mereka bisa membuktikan berpuluh teori dan ilmu pengetahuan dalam Alquran menjadi sains modern. Anak-anak kita bisa membuat obat untuk penyakit yang belum ada obatnya dan membuat kita nggak perlu lagi takut makan obat berisi saripati babi. Hei, anak kita bisa menemukan ramuan untuk bisa menghijaukan lahan gundul dalam hitungan hari. Begitu banyak hal indah yang bisa kita lakukan ketika kita nggak pasrah.
Bayangkan, jika setengah, nggak usah semuanya-cukup setengah saja, Muslim di Indonesia nggak tercekoki pemikiran pasrah pada kehidupan akhirat, bisa jadi seperti apa Indonesia ini. Kita nggak akan lagi terkungkung dengan pemikiran eksklusif keagamaan. Kita nggak cuma bangga sebagai Muslim dari sisi banyaknya populasi, tapi juga dari sisi kualitas otak dan penghidupan.
Ilmu dan pemikiran saya ini nggak diajarkan di sekolah keagamaan atau di depan mimbar ceramah di masjid atau mushalla. Pemikiran saya ini lahir dari interaksi saya dengan banyak manusia. Pemikiran yang menurut saya baik, bisa kita tiru.
Sudah saatnya Muslim buang jauh tempurung dan melihat lebih luas-luas-luas. Percaya akhirat dengan cara percaya bahwa kehidupan inilah kunci untuk mendapatkan kehidupan baik di akhirat.
Sekian ceramah saya. Terima kasih sudah mau baca sejauh ini. Silakan diendapkan dan jadi bahan diskusi dengan pasangan atau teman kerabat kita.
Sampai jumpa di tulisan saya yang entah kapan lagi bisa saya update. :)
Saya sbg muslim, baik secara pikiran, edukasi, literasi maupun ekonomi, gak sama sekali seperti yg anda gambar kan Pak. Salah besar asumsi bapak ini. Bahaya sekali tulisan anda dalam membentuk asumsi seseorang, let say adalah itu istri Bapak ya. Dalam koridornya kewajiban Anda mendidik istri, itu adalah ranah anda dan saya tidak akan mengomentari. Tp jk anda menginterpretasikan hal tsb pada sosok muslim, which is saya muslim, maka anda tidak benar. Mohon bs dibantu istri Bapak jika ingin bertanya ttg islam, kepada seseorang yg lebih layak, lebih baik pemahamannya, lebih dapat dipertanggungjawabkan statementnya dan mampu menjelaskan islam secara benar berdasarkan ilmu dan kitab sucinya. Bukan didasarkan dr subjektifitas personal. Lantas jika anda berdalih, ini adalah asumsi anda dan ini tulisan anda jadi bisa suka suka. Maka harusnya anda tidak mempublish ini di media sosial. Lebih bijak Pak dalam berstatement. Diluar anda muslim atau bukan, bukankah anda sering mengkritisi makna toleransi. Mana toleransi anda dalam menulis ini semua? Kita semua memiliki perjalanan keagamaan masing2, maka.pengaruhi istri bapakndgn cata anda sendiri. Bukan menelaah pendapat pribadi lalu dgn bangganya mempromosikan tulisan dgn mendeskriditkan agama lain. Bapak ndk blg k istri bapak kalau ada Pak Sandiaga Uno, ada Pak BJ Habibie, ada Pak Chairul Tanjung yg muslimndan juga teredukasi dan kaya. Jgn agamanya yg disorot Pak, manusianya.
ReplyDeletesalam kenal, mas. punten silakan dibaca lg dengan baik tulisan saya. yg saya tulis itu yg terjadi di social media kok. kemudian saya coba telaah. adapun umat muslim ada yg kaya raya, saya setuju. tapi coba telaah lagi apakah etos mereka dan persepsi mereka yg kaya ini sama dg muslim yg miskin dan kebanyakan. monggo dibaca lagi yaa ;)
Delete