![]() |
Ini Prof. X |
Sambil berlari-lari kecil, saya coba mengejar teman saya yang jalannya beberapa langkah di depan.
"Sir, kok, gue nggak pernah diajak rapat lagi, sih?" tanya saya sambil mengiringi langkah cepatnya.
"Ah, lo, sih, kaga pernah ikut rapat. Ngapain kita ajak lagi?" jawab teman saya tadi tanpa sedikit pun menoleh pada saya.
Beberapa minggu kemudian, jabatan saya diturunkan dari Koordinator Divisi Publikasi menjadi Koordinator Mading tanpa sebab yang jelas. Saya kesal dan memutuskan keluar dari organisasi.
Beberapa minggu setelahnya, saya baru dapat kabar ternyata teman saya yang saya panggil "Sir" di atas lupa kalau saya nggak pernah ikut rapat karena selama dua bulan saya nggak masuk sekolah terbaring sakit demam berdarah. Sayangnya, keputusan sudah dia ambil tanpa sedikit pun mengonfirmasi pada saya. Pun, saya nggak pernah mengonfirmasi kenapa jabatan saya diturunkan.
End.
Ini cerita nyata yang saya alami saat SMA dulu. Ya, momen di hidup saya yang membuat saya kehilangan jabatan di organisasi cuma karena ketua organisasinya lupa saya absen rapat karena dua bulan saya nggak masuk sekolah karena sakit.
Waktu itu, jelas saya kecewa sekali dengan teman saya ini. Namun, begitu saya tahu alasannya, saya jadi merasa geli sendiri. Kok, bisa, cuma karena pikiran yang tak terkonfirmasi berbuntut pada hal negatif. (Bisa! Buktinya di sini: KLIK)
Saat saya curhat tentang masalah ini ke salah satu teman dekat, dia cuma menjawab, "Nggak ada orang yang bisa jadi mind reader, mate. Wajar kalau orang bisa salah persepsi cuma karena pikiran dia sendiri."
Mind reader. Dua kata dalam Bahasa Inggris ini cukup simpel artinya, pembaca pikiran, tapi maknanya cukup dalam.
Ya, nggak ada satupun orang di dunia yang bisa membaca pikiran orang lain. Sama seperti setan, pikiran manusia itu gaib. Nggak bisa terlihat wujudnya tapi bisa kita rasakan. Caraya lewat action yang kita lakukan. Seperti gestur, mimik, ataupun intonasi suara.
Namun, action atau tindakan ini pun nggak bisa 100% tepat menggambarkan pikiran. Bahkan bukan nggak mungkin, malah salah ditafsirkan. Itu sebabnya cabang-cabang ilmu seperti Psikologi sangat dibutuhkan demi bisa memetakan pikiran seseorang.
Kata-kata teman SMA saya ini benar-benar membekas di diri saya sejak saat itu. Saya sangat tertarik pada konsep mind reader. Sampai akhirnya saya banyak membeli buku-buku Psikologi seputar gestur, mimik, dan intonasi suara. Saya merasa perlu tahu apa yang lawan bicara saya pikirkan dari kata-kata atau action yang dia lakukan. Pun sebaliknya, saya perlu tahu, apa yang lawan bicara saya pikirkan sebagai tanggapan dari action yang saya lakukan.
Saya merasa cukup trauma dengan kejadian yang pernah saya alami semasa berorganisasi di SMA tadi. Jelas, saya nggak mau terulang hal-hal serupa, yaitu bentrok cuma karena kita salah menafsirkan pikiran lawan bicara kita. Sayangnya, kejadian ini dan semua hal yang saya pelajari pada akhirnya malah membuat saya jadi orang yang "nggak enakan" karena khawatir membuat action yang berpotensi salah tafsir.
Di lain sisi, saya juga jadi tipe orang yang akhirnya menganggap semua orang itu baik. Di mata saya, kita menganggap orang lain jahat cuma karena kita nggak tahu atau nggak mengerti apa yang orang itu pikirkan.
Ah, soal pendapat saya ini pernah jadi perdebatan panjang dengan teman dekat saya semasa kuliah dulu. Sebabnya, karena saya bilang Belanda itu nggak jahat. Teman saya protes, bagaimana mungkin penjajah yang menzolimi rakyat Indonesia selama 350 tahun dibilang nggak jahat?
Bagi saya, kita menganggap Belanda atau Jepang itu jahat karena kita nggak mengerti apa yang mereka pikirkan. Coba sekali-kali kita membayangkan kalau kita adalah warga negara Belanda, yang saat itu mungkin sedang didera kekacauan ekonomi karena kehabisan bahan pangan. Sementara di Indonesia bertabur jenis pangan baru yang membuat negara mereka bisa survive. Sebagai negara adidaya saat itu, apalagi yang bisa mereka lakukan? Menjajah. Karena untuk menguasai banyak pangan tersebut, jelas, meminta pada rakyat Indonesia terus-menerus adalah hal yang tak mungkin.
Bisa jadi, Belanda di sisi lain, juga menganggap kita jahat. Karena kita nggak mau dengan baiknya membagi banyak pangan yang mereka butuhkan untuk bisa menyelamatkan negaranya.
Ya, perbedaan pikiran, yang nggak bisa diterjemahkan dengan baik membuat perang berkecamuk selama 350 tahun. Coba kalau ada seorang mind reader, bisa jadi kedatangan Belanda akan disambut baik pemimpin Indonesia saat itu sambil bilang, "Ooh..., ente negaranya mau koit? Noh, ambil dah biji cabe yang di pojokan pulau Maluku. Tapi ente ambilnya jangan sampe abis, ntar kite yang gantian koit negaranya."
Terus, Belanda yang juga seorang mind reader bisa dengan gampangnya tahu nggak ada niat terselubung dari orang Indonesia. Maka mereka dengan bahagia bisa ambil pangan tersebut dan berterima kasih sama orang Indonesia.
Ah, indahnya kalau memang kita dianugerahi kemampuan mind reader.
Tapi, sayangnya, tampaknya Tuhan punya rencana lain. Manusia nggak diberikan kemampuan ini pasti karena alasan yang jauh lebih indah. Mari kita sama-sama mundur beberapa langkah mengenang kisah percintaan monyet kita zaman sekolah dulu.
Momen saat kita curi-curi pandang ke cewek yang kita suka, di saat yang sama sang cewek nggak sengaja menangkap mata kita juga. Lalu, sang cewek merespon dengan senyum. Kita, tanpa kemampuan mind reader, pasti dipenuhi sejuta penafsiran di otak. Mulai dari, "Ah, dia senyumin gue! Pasti dia suka sama gue!", hingga, "Eh, tapi, jangan-jangan cuma senyum ramah aja kaya senyum ke semua orang".
Sambil membiarkan sejuta penafsiran tersebut berkelana di otak, denyut jantung kita berdetak tak beraturan, emosi tak terkendal. Ya, kita dilanda kasmaran! Dan itu indah rasanya.
Coba kalau kita seorang mind reader. Lagi asik-asiknya mantau gebetan tiba-tiba gebetannya juga melirik kita. Dan, sayup-sayup kita bisa dengar pikirannya berkata, "Ah, ngapain, tuh, si Mamat liatin gue. Kaya ganteng aja. Eh tapi gue senyumin aja deh, biar dia GR."
DEZIG!
Tanpa kemampuan mind reader pula, kemampuan lain kita terasah. Ada kemampuan empati yang membuat kita terlatih untuk menebak perasaan dan pikiran orang. Ada kemampuan berpikir sebelum bertindak yang membuat kita berhati-hati action sebelum akhirnya melukai perasaan orang lain atau berpotensi salah tafsir. Juga, segudang kemampuan lain yang akhirnya membuat manusia bisa melewati berabad-abad evolusi memahami orang lain di sekitarnya untuk hidup berdampingan. (Mari berdampingan di SINI)
Sama seperti yang Madonna bilang di lagunya, Frozen.
You only see what your eyes want to see
How can life be what you want it to be
You're frozen
When your heart's not open
How can life be what you want it to be
You're frozen
When your heart's not open
Kita bukan mind reader, tapi kita bisa jadi open mind person yang berusaha memahami bahwa nggak ada satu orang di dunia pun yang punya pikiran 100% identik. Sambil di sisi lain, terus melatih rasa empati kita untuk mencoba mengerti pikiran lawan bicara kita.
Subhanalloh, Mahabesar dan Mahasuci Tuhan, Sang Maha Mencipta.
No comments:
Post a Comment