Pages

29 November, 2015

Ada Anak Bertanya Pada Bapaknya



Ada anak bertanya pada bapaknya
buat apa berlapar-lapar puasa
Ada anak bertanya pada bapaknya
tadarus tarawih apalah gunanya

Lirik lagu Bimbo berjudul Ada Anak Bertanya Pada Bapaknya di atas mengingatkan saya pada kejadian beberapa waktu lalu saat saya bawa mobil ke bengkel untuk direparasi. Saat itu perhatian saya sempat teralihkan dari yang tadinya asik mantengin apa yang lagi dikerjakan montir, beralih ke aksi anak kecil yang tiba-tiba menghampiri sang montir.

Dari kata-katanya, saya bisa menyimpulkan, anak yang kira-kira usianya 7 tahunan ini, adalah anak dari montir yang lagi mereparasi mobil saya. Yang membuat pandangan saya nggak bisa lepas, anak ini dari awal datang selalu mencoba menggantikan pekerjaan ayahnya.

Dia mulai merebut tang besar yang dipegang ayahnya, mencari dan mengumpulkan baut yang dibutuhkan ayahnya, bahkan sampai beberapa kali berujar mau menggantikan pekerjaan ayahnya mengencangkan baut. Si montir, yang tadinya menolak, akhirnya menyerah juga dan membiarkan anaknya melakukan pekerjaannya mengencangkan baut, sementara dia mengerjakan hal lain.

Nggak sekali dua kali saya menyaksikan peristiwa seperti ini. Seorang anak yang menempeli orangtuanya, ingin tahu apa yang dikerjakan, dan berusaha melakukan apa yang orangtuanya kerjakan. Pemandangan ini menegaskan pemikiran yang selama ini tertanam di saya, bahwa guru pertama seorang anak adalah orangtuanya.

Ya, seperti bayi-bayi binatang yang mencontoh induknya untuk bisa bertahan hidup, anak manusia pun demikian. Anak-anak akan mencontoh apa yang orangtuanya lakukan. Anak laki-laki akan melihat apa yang ayahnya lakukan, pun anak perempuan melihat ke ibunya.

Disadari atau nggak, hal ini juga terjadi pada saya. Saya, yang dari kecil lebih dekat ke ibu saya, secara naluri ternyata banyak "tertular" hal-hal yang bapak saya sukai atau lakukan. Bahkan, walaupun saya nggak pernah benar-benar mengakuinya, diam-diam saya bangga dengan kebisaan atau keahlian bapak saya.

Seperti keahliannya dalam tali-temali, mengerjakan pekerjaan di rumah khas lelaki seperti menggergaji atau memotong pohon, hobinya membaca buku, bahkan ketertarikannya pada sejarah. Saya, dan adik-adik saya, bahkan terpengaruh pekerjaan orangtua kami sebagai guru. Naluri "mengajar" dan berbagi kami pada orang lain sangat besar. Misalnya, adik saya yang sekarang menjadi guru untuk anak-anak berkepribadian khusus, atau saya yang suka sekali menjadi pembicara untuk suatu topik di seminar, pun adik saya yang paling kecil.

Balik ke anak montir yang saya lihat tadi, bukan hal yang nggak mungkin anak ini pun berpikir pekerjaan ayahnya itu keren dan timbul keinginan dia ingin menjadi montir juga. Pola inilah akhirnya yang menjebak proses "perbaikan status" di suatu keluarga. Jarang sekali ada anak yang bisa lebih hebat dari orangtuanya karena keburu "jatuh cinta" dengan profesi orangtuanya.

Makanya, ada peribahasa terkenal berbunyi "buah jatuh tak jauh dari pohonnya" yang berarti, kira-kira, yang dilakukan anak-anak itu nggak jauh beda sama yang dilakukan oleh orangtuanya. Anak artis, kelak besar kemungkinan menjadi artis. Pun anak montir tadi, besar kemungkinannya akan menjadi montir juga. Walaupun, hal seperti ini nggak bisa disamaratakan ke semua keluarga.

Nggak heran juga, beberapa penelitian menyebut bahwa penyimpangan seksual atau sifat agak kemayu dari laki-laki disebabkan saat kecil anak laki-laki jauh atau kehilangan sosok ayahnya yang bisa dia tiru untuk jadi laki-laki sejati.

Ah, terbersit sangat di pikiran saya jadinya. Untuk benar-benar memberikan contoh terbaik untuk anak saya nantinya. Terutama anak laki-laki. Paling nggak, seperti lagu Bimbo di atas, saya ingin anak saya nantinya cukup bertanya pada saya tentang apa yang dia ingin ketahui, tanpa malu-malu atau malah memilih bertanya pada temannya yang berujung pada jawaban yang nggak tepat.

Kalau anda, bagaimana? Ada yang punya pengalaman mendidik anak dengan memberikan contoh juga? Share, yah.





No comments:

Post a Comment