Pages

01 November, 2015

Public Relation di Konsep Pamali

Lebih dari 30 tahun hidup di Indonesia, saya baru sadar bahwa masyarakat negeri ini sangat expert di bidang public relation. Terutama soal menjaga imej positif.

Ceritanya begini.

Sehari setelah Tika dinyatakan keguguran oleh dokter (lho, kapan Tika hamil?), esoknya banyak yang menasehati saya soal berhati-hati untuk menyebarkan berita Tika hamil. Katanya, pamali kita cerita-cerita ke orang-orang tentang kehamilan istri kalau masih di bawah 3 bulan. Soalnya masih besar kemungkinan terjadi keguguran.

Wah, sebagai pemula, saya mengiyakan nasehat ini. Saya baru tahu ternyata ada pamali seperti ini.

Namun, sebagai pemula juga, saya merasa ada yang janggal dengan logika pamali ini. Di logika saya, menyebarkan berita gembira secepatnya ke orang banyak seharusnya membawa kebaikan lebih cepat pula. Karena akan lebih awal dan lebih banyak orang yang mendoakan.

Teknisnya begini, jika sejak awal, katakanlah di umur 0 tahun, kita sudah mengabarkan soal kehamilan, artinya sudah sejak awal kita meminta orang-orang berteriak, "Wah, selamat! Semoga sehat selalu ya janinnya."

Kalau dibandingkan dengan baru dikabari pada usia kehamilan satu bulan, berarti sama saja saya kehilangan kesempatan 4 minggu untuk minta didoakan oleh kerabat dan teman-teman dekat saya. 

Ya, kan?

Nah, setelah saya pikir-pikir lagi, sadarlah saya nasehat pamali ini ada hubungan dengan menjaga imej positif atau baik. Di trimester pertama kehamilan, kemungkinan keguguran memang masih besar. Itu sebabnya, orang-orang tua kita berpesan, kita nggak boleh terlalu senang dan menyiarkan kabar ke banyak orang.

Tujuannya dua. Untuk kita sendiri, harapannya, kita nggak terlalu sedih kalau seandainya sang jabang bayi meninggal sebelum genap melewati trimester pertama. Sementara untuk orang lain, mereka jadi nggak perlu mendengar berita baik lalu berita sedih, mendengar terlalu banyak informasi tentang kita, atau - yang paling penting - nggak terlalu menganggap hidup kita penuh drama.

Dalam dunia public relation, yang mana sedang saya pelajari dan geluti sekarang ini, hal seperti ini biasa dikenal dengan mengatur timing yang tepat untuk melepas informasi. Nggak terlalu cepat, nggak pula terlalu lambat. Efeknya, agar berita yang dirilis efeknya hacep.

Dan, kearifan lokal kita sudah mengajarkannya beratus-ratus tahun dengan label pamali.

Ah, ya, tentang keguguran Tika, dokter mengabarinya pada 22 Oktober lalu. Kalau dihitung-hitung, usia embrio kira-kira cuma 8 minggu.

Sedih? Pasti. Namun, ada satu pesan dokter yang menguatkan saya dan Tika. Bahwa segala sesuatu itu sudah ada yang merencanakan. Embrio di rahim Tika sejak awal tampaknya memang nggak berkembang semestinya. Jadi, kalaupun berhasil dilahirkan nantinya, besar kemungkinan bayinya akan cacat.

"Daripada nantinya banyak yang lahir jadi monster, mending duluan gugur pas masih embrio, kan?" kata dokter Erdwin Rakun, dokter yang menangani Tika dari awal di RS Puri Pondok Indah.

Mengikuti kehamilan Tika, saya jadi makin merasa kecil di dunia ini. Makin merasa bahwa ada something bigger and powerful yang merencanakan setiap detik yang kita alami di dunia ini. Berulang-ulang, saya merasa dipaksa untuk percaya dan berserah pada apa yang akan terjadi.

Ya, selama Tika hamil dan dirundung sakit terus-menerus, saya nggak bisa selalu tahu apa yang terjadi dalam tubuh Tika termasuk dalam kandungannya. Saat dia mengeluh sakit, perut bergolak, begitu pula saat Tika bertanya apa artinya sakit ini-itu, bertanya kenapa begini-kenapa begitu, saya nggak bisa menjawab satu per satu karena saya pun nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Saya cuma bisa berdoa dalam hati meminta yang terbaik untuk yang terjadi di dalam sana.

Pun begitu akhirnya embrio 8 minggu itu akhirnya meluruh, seperti kata dokter tadi, saya cuma bisa percaya bahwa takdirnya memang lebih baik seperti ini. Tinggal dibungkus sama doa biar ikhlas dan diganti dengan yang lebih baik.

Amin.


No comments:

Post a Comment