Tiap kali saya "ketahuan" bawa makanan bekal oleh teman-teman sekantor, biasanya ada dua pertanyaan yang mereka ajukan.
1. Siapa yang masak?
2. Kok bisa? Kerja atau nggak?
Untuk pertanyaan pertama, saya jawab: istri saya. Pertanyaan kedua, jawabannya: Nggak kerja. Dari semua rekan kerja saya yang menanyakan pertanyaan itu ke saya - baik laki-laki atau pun perempuan - pasti selalu disambut dengan pertanyaan selanjutnya, yaitu:
3. Memang dari dulu nggak kerja atau dulunya kerja?
Jawabannya: Nggak, resign pas nikah. Dan, deretan pertanyaan itu biasanya diakhiri dengan kata-kata, "Wah, hebat, ya. Mutusin resign nggak kerja lagi. Berani, yah."
Sebelum teman-teman saya berkomentar seperti itu, pemikiran yang sama pun terlintas di otak saya. "Kok, bisa, ya?"
Bagi saya, Tika masuk tipe perempuan yang supersmart. Di pekerjaannya dulu, diberikan tantangan apapun pasti bisa dia selesaikan. Diberikan "drama" apapun di kantor, pasti bisa dia tanggulangi. Kariernya, kalau bukan perempuan, pasti bisa lebih cepat melesat.
Bahkan, saya berani bilang, kalau saya dan Tika diduelkan di dunia kerja, Tika bisa jauh lebih cepat melesat dari saya. Soft skill-nya bagus dan cara berpikirnya selalu out of the box.
Lalu, buat apa Tika resign, meninggalkan kesempatan berkarier dan punya banyak uang dari gajinya untuk bisa Ia tabung foya-foya, kemudian memutuskan menjadi ibu rumah tangga yang sehari-hari hanya di rumah saja mengurus rumah tangga?
"Kalau sudah biasa bekerja, pasti nanti nggak kuat, deh, jadi ibu rumah tangga. Pasti gatal, deh, pengen sibuk-sibuk lagi," begitu kata teman-teman saya, terutama perempuan, memberi komentar lanjutan.
Tiap kali ditanya, Tika biasanya cuma menjawab ringan kalau dia malas bekerja. Bosan. Kalau pun dia bekerja lagi, dia cuma ingin pekerjaan yang menghabiskan waktunya saja dengan gaji seadanya. Bahkan, jadi sekretaris atau barista pun, Tika nggak keberatan.
Walau sudah empat bulanan kami menikah, toh, pertanyaan "kok, bisa, ya?" masih sering melintas di pikiran saya. Biasanya, untuk menangkis pertanyaan ini terus melintas, pada akhirnya saya selalu sampai pada kesimpulan bahwa Tika adalah wanita hebat.
Di mata saya, Tika layaknya seorang pendekar digdaya nan sakti mandraguna yang terkenal di dunia persilatan. Ke manapun melangkah, kawan segan padanya, lawan enggan bertemu sapa. Namun, dengan kebijaksanaannya, pendekar ini mampu memilih untuk naik gunung, meninggalkan gegap-gempita dunia persilatan dan menyendiri mengejar sesuatu yang lain.
Di sisi lain, Tika juga berhasil membuat saya merasa dibutuhkan dan menjadi tokoh sentral dalam rumah tangga kami. Dengan beraninya, dia melepaskan senjata perang yang selama ini ia gunakan dan menyerahkannya pada saya untuk sekuat tenaga melindungi dia dan mencari "jalan selamat" di medan perang.
Tika, yang tadinya bukan siapa-siapa saya, yang bahkan nggak ada jaminan sebelumnya saya bisa membuat orang bahagia atau sukses, mau menyerahkan dirinya dan mempercayakannya pada saya.
Hal ini yang membuat, tiap kali saya memandangi wajahnya, saya selalu mengucap syukur pada Tuhan, sembari berbisik dalam hati bahwa saya akan menjaga perempuan ini sepenuh hati dan membuatnya bahagia sebagai wujud rasa syukur saya.
Kehebatan Tika jugalah yang membuat saya dengan senyum bangga selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.
Dear, allow me to be your man that can light our stairway to heaven.
Oh ya, Tika juga pernah nulis tentang keputusan resign, di sini: KLIK
No comments:
Post a Comment