Pages

26 January, 2016

Gara-Gara Majalah Tempo



Di suatu siang, menjelang makan siang, saya tertarik membaca majalah Tempo yang tergeletak di meja teman kerja saya. Headline di cover-nyalah yang membuat minat saya membuncah majalah ini. Maklum, saya memang sudah lama sekali nggak membaca majalah, apalagi koran.

Karena sudah lama nggak baca majalah, saya nggak langsung buka halaman yang mau saya baca. Iseng, saya balik halaman demi halaman dari depan. Sayang, keisengan saya ini nggak bertahan. Nggak ada poin yang membuat mata saya tertambat untuk membaca. Jadi, saya putuskan untuk segera melompat ke artikel utama yang judulnya nongol di cover.

Saya menikmati betul judul artikelnya. Baru baca judulnya saja, rasanya sudah seperti saya sedang siap-siap mencicipi ketoprak atau telur ceplok, makanan kesukaan saya. Jadi, begitu saya baca paragraf lead-nya, lalu beranjak ke dua hingga lima paragraf selanjutnya, seharusnya perasaan saya meledak. Tepat seperti meledaknya rasa di gigitan makanan pertama.

Kenyataannya, nggak. Lima paragraf pertama saya lewatkan dengan rasa flat. Saya bergidik. Kok, bisa, saya membaca majalah sekelas Tempo tapi rasanya datar saja? Kata saya membatin. Penasaran, saya berniat terus membaca artikelnya sampai di halaman kedua.

Makin terus membaca, ternyata nggak ada perubahan. Ah, kenapa ini? Karena masih penasaran, saya coba membawa majalah yang didirikan oleh Goenawan Muhammad ini ke ruang makan. Ya, saya mau menikmatinya sambil makan siang, yang seharusnya membuat saya makin bisa menikmati isinya.

Namun, apa daya? Saya memang berhasil menamatkan tiga artikel utama yang berisi tentang peristiwa Bom Thamrin ini, tapi sampai titik terakhir, saya nggak merasakan sesuatu yang spesial. Spesial di sini saya maksudkan seperti: merasa tercerahkan, merasa seperti masuk dalam bagian cerita/ artikel, atau lebih jauh lagi, membuat saya merasa ingin menceritakan ulang pada orang lain.

Ya, siang itu, bersama selesainya makan siang saya, saya menutup majalah Tempo dengan perasaan datar. Kok, begini?

Lalu, sambil mengembalikan majalah itu ke meja teman saya dan bergegas sholat Zuhur, otak saya mulai menganalisa. Satu hal yang pertama terlintas, majalah Tempo sudah kehilangan kekuatan berita khasnya yang selama ini menjadi jualannya. Entah karena jurnalisnya yang nggak lagi mendalam ketika menggali suatu berita, entah karena editornya yang nggak lagi pandai menjahit kata, atau memang karena keseluruhan awak redaksinya gagal menjangkau angle yang dicari-cari pembaca.

Ah, tapi rasanya nggak adil kalau saya menuduh pihak majalah Tempo. Jadi, logika saya mulai mencari penyebab lain. Kambing hitam saya selanjutnya adalah dunia digital. Mungkin, artikel di majalah Tempo nggak terlalu memikat karena seluruh infonya sebagian bisa sudah tercecer dibagikan oleh media online, blog, atau pun banyak post di social media.

Hal ini yang mungkin membuat artikel di majalah Tempo kehilangan daya kejutnya. Ya..., semacam kita diberikan kejutan saat ulang tahun, tapi sebelumnya kita sudah mendengar desas-desusnya kita bakal dikerjain.

Masih merasa kurang puas, logika saya berputar lagi. Barulah, sesuai sifat dasar manusia yang nggak mau duluan disalahkan, saya mencari kesalahan di diri saya. Ah, jangan-jangan memang saya pun sudah mulai tertular budaya lebih menyukai mengonsumsi berita online ketimbang berita cetak?

Ya, hadirnya berita online, terutama yang di-post di social media memang membuat budaya baca kita (baca: generasi sekarang) berubah. Saat membaca suatu artikel, kita nggak lagi detail menikmati tiap kata yang dirajut jadi satu kalimat penuh penceritaan. Mata kita berubah jadi semacam scanner yang dengan cepat dan tanggap mencari isi utama dari suatu cerita. Mirip halnya seperti kita sedang membaca soal cerita di soal-soal bahasa Indonesia dulu.

Itu sebabnya, menyadari pola perubahan ini, banyak media online yang tampil dengan sajian artikel berformat pointer (belakangan, penyajian infografis dan penyertaan video lebih disukai). Sedikit cerita, banyak memberi list, dan judul kecil. Dengan pola ini, mata kita yang bertingkah seperti pemindai bisa dengan mudah menangkap bahan pembicaraan.

Ya, ya, ya. Sepertinya penjelasan yang terakhir inilah yang sepertinya lebih tepat menjawab kegelisahan saya. Saya mulai kehilangan taste membaca artikel bercerita. Sebabnya jelas, saya sudah lama sekali nggak membuka lembaran koran, menikmati halaman-halaman majalah, atau bahkan mengintip uraian dongeng di novel.

Ah, saya jadi malu sendiri sudah ujug-ujug menuduh awak redaksi majalah Tempo. Lalu, segera setelah saya selesaikan salam saya dalam sholat Zuhur, saya memutuskan untuk mencoba lagi membeli majalah yang saya sukai, seperti dulu.


No comments:

Post a Comment