Pages

16 March, 2018

Siapa yang Salah di Kasus Salah Paham?




Di sebuah diskusi tak formal melalui grup WhatsApp, saya terlibat diskusi tentang efektivitas sebuah komunikasi. Kisahnya bermula dari tanggapan saya pada satu artikel yang di-share melalui grup WhatsApp tersebut.

Artikelnya membahas tentang kondisi keimanan seseorang yang naik turun. Di dalam artikel tersebut disebut, ada tugas sesama kita untuk saling jaga agar keimanan seseorang nggak sampai turun.

'Tapi di saat yang bersamaan, konsekuensi keberimanan juga punya kewajiban lain: ber-nahi mungkar kepada sesama manusia. Mencegahnya, mendoakannya, dan mengingatkannya dengan cara yang ahsan.'

Saya menggarisbawahi bagian ini, terutama bagian 'mengingatkannya dengan cara yang ahsan'. Kenapa? Karena bagian ini adalah bagian penting yang seringkali kita lupakan saat ini. Ketika ada sebuah maksiat, kesalahan di depan mata kita, perbuatan tak terpuji, yang sebaiknya kita lakukan untuk membenarkannya adalah dengan berlaku ahsan (baik, akar kata: ihsan, Arab).

Bukan sebaliknya. Malah menghujat, mengutuk, mencaci, bahkan mengancam bunuh. Saya pikir, banyak historikal kenabian yang mencontoh hal ini. Bukan hanya pada historikal Nabi Muhammad SAW yang balik mengunjungi seorang Yahudi ketika ia sakit padahal selama ini Yahudi tersebut sering bertindak kasar padanya, tapi juga kisah Isa pada umatnya.

Sayangnya, dalam diskusi tak formal tersebut, sang pengirim artikel tak setuju dg 'note' yang saya garisbawahi. Menurutnya, untuk saling menjaga keberimanan, diperlukan juga ke-ahsan-an dari objek yang sedang diajak untuk beriman.

Saya jelas nggak setuju dengna konsep ini dan lalu saya sampaikan di diskusi tersebut. Karena seingat saya, efektivitas komunikasi sebagian besar terjadi karena peran komunikatornya, bukan komunikan (penerima pesan). Karena komunikator adalah pihak yang aktif. Kalau pun ada peran komunikan di dalamnya, pastilah peran yg pasif.

Karena artikel yg di-share di grup WhatsApp tsb menggunakan banyak dalil keilmuan, sebagai lulusan Ilmu Komunikasi, saya pun gerah sendiri dan berusaha mengingatkan diri sendiri mencari dasar keilmuan atas bantahan yang saya sampaikan. Maka, saya membuka beberapa literatur yang sudah lama nggak saya buka.

Hasilnya? Seperti yang saya sebut. Efektivitas komunikasi terletak dari 'ahsan'-nya seorang komunikator menyampaikan pesan. Kalau pun ada peran dari komunikan, hal itu terkait dengan kejelian komunikator mempertimbangkan keadaan komunikan.

Berikut saya tuliskan beberapa teorinya. Silakan koreksi jika saya salah.

Faktor yang mempengaruhi komunikasi menurut Scoot M Cultip:
1. Kredibilitas Komunikator (utk bisa dipercaya oleh komunikan)
2. Konteks (keadaan saat proses komunikasi berlangsung)
3. Konten (relevansi dg komunikan)
4. Kejelasan (mencakup kejelasan isi pesan, kejelasa tujuan yang akan dicapai, kejelasan kata-kata (verbal) yang digunakan, dan kejelasan bahasa tubuh (non verbal) yang digunakan)
5. Kesinambungan dan Konsistensi (pesan perlu disampaikan secara terus menerus dan konsisten)
6. Kemampuan Komunikan
7. Saluran Distribusi (media yg digunakan utk komunikasi)

Dari 6 faktor, M Cultip hanya menyebut 1 kali peran komunikan, yaitu kemampuan komunikan. Itu pun ternyata balik lagi, yang aktif adalah komunikatornya. Komikator harus memperhatikan audiensnya, menggunakan bahasa (baik verbal maupun non verbal) yang sesuai dan dipahami oleh audiens.

Faktor yang mempengaruhi komunikasi menurut Potter dan Perry:
1. Perkembangan usia komunikan
2. Persepsi (yang terjadi di komunikan mengenai sesuatu, yang dibentuk dari harapan dan pengalamannya yang bisa menyebabkan terhambatnya komunikasi)
3. Nilai yang dianut komunikan
4. Latar belakang sosial budaya komunikan
5. Emosi
6. Pengetahuan komunikan
7. Peran (posisi komunikator dalam situasi terjadinya komunikasi)
8. Lingkungan (saat komunikasi terjadi)
9. Jenis kelamin komunikan
10. Jarak (antara komunikan dan komunikator. Baik jarak fisik maupun jarak hubungan sosial)
11. Citra Diri komunikator (makin baik citra sang komunikator di depan komunikan, makin efektif komunikasinya)
12. Kondisi fisik (idem dengan poin no 11)

Dari banyak teori komunikasi, teori dari Potter dan Perry inilah yg paling banyak menyoal faktor komunikannya. Namun, dari penjelasan Potter dan Perry, faktor komunikan inilah yang justru harus dipertimbangkan oleh komunikator utk membuat strategi agar proses komunikasi yang dilakukan menjadi efektif. Bukan malah sebaliknya, menuntut komunikan aktif membuat komunikasi menjadi efektif.

Misal, faktor perkembangan usia komunikan. Di sini kita nggak bisa meminta komunikan untuk tiba-tiba menambah umurnya agar proses komunikasi menjadi efektif. Melainkan, komunikator dituntut untuk menyesuaikan cara penyampaian pesannya. 

Begitu pula dengan faktor emosi komunikan. Peran aktif komunimator-lah yang dituntut untuk membuat pesan efektif tersampaikan, bukan menuntut komunikan menyesuaikan mood emosinya. Komunikator perlu mengkaji emosi komunikan juga dirinya sendiri agar komunikan bisa menerima pesan/ informasi dengan baik tidak salah tafsir dan mau mendengarkan pesan yang disampaikan.

Perihal kasus salah paham atau salah tafsir sering terjadi pada saya ketika saya mengunggah foto di Instagram saya. Dari 500 orang yg memberi respon 'love', saya yakin ada 500 pula perbedaan penafsiran pesan dari foto yg saya unggah.

Lalu, apakah ini salah follower saya? Tentu bukan. Mereka punya hak untuk mempersepsi sendiri pesan yg saya sampaikan berdasarkan pengetahuan, tingkat intelektual, dlsb mereka. Namun, sebagai komunikator, kitalah yang bertanggung jawab untuk aktif bijak memilih cara ahsan menyampaikan pesan, cara ahsan memilih kosakata, cara ahsan memilih medianya, dlsb.

Prinsip ini, saya pikir bisa kita terapkan di kondisi kita sekarang. Saat ada yang tak suka dengan public figure atau wakil rakyat tertentu, jangan berharap mereka akan 'tobat' jika cara menasehati kita belum tepat cara dan sasaran.

Wallohu alam.

No comments:

Post a Comment