Di sebuah diskusi tak formal melalui grup WhatsApp, saya
terlibat diskusi tentang efektivitas sebuah komunikasi. Kisahnya bermula dari
tanggapan saya pada satu artikel yang di-share melalui grup WhatsApp tersebut.
Artikelnya membahas tentang kondisi keimanan seseorang
yang naik turun. Di dalam artikel tersebut disebut, ada tugas sesama kita untuk saling
jaga agar keimanan seseorang nggak sampai turun.
'Tapi di saat yang bersamaan, konsekuensi keberimanan
juga punya kewajiban lain: ber-nahi mungkar kepada sesama manusia. Mencegahnya,
mendoakannya, dan mengingatkannya dengan cara yang ahsan.'
Saya menggarisbawahi bagian ini, terutama bagian
'mengingatkannya dengan cara yang ahsan'. Kenapa? Karena bagian ini adalah
bagian penting yang seringkali kita lupakan saat ini. Ketika ada sebuah maksiat,
kesalahan di depan mata kita, perbuatan tak terpuji, yang sebaiknya kita
lakukan untuk membenarkannya adalah dengan berlaku ahsan (baik, akar kata: ihsan,
Arab).
Bukan sebaliknya. Malah menghujat, mengutuk, mencaci,
bahkan mengancam bunuh. Saya pikir, banyak historikal kenabian yang mencontoh hal
ini. Bukan hanya pada historikal Nabi Muhammad SAW yang balik mengunjungi seorang
Yahudi ketika ia sakit padahal selama ini Yahudi tersebut sering bertindak kasar
padanya, tapi juga kisah Isa pada umatnya.
Sayangnya, dalam diskusi tak formal tersebut, sang pengirim
artikel tak setuju dg 'note' yang saya garisbawahi. Menurutnya, untuk saling
menjaga keberimanan, diperlukan juga ke-ahsan-an dari objek yang sedang diajak
untuk beriman.
Saya jelas nggak setuju dengna konsep ini dan lalu saya
sampaikan di diskusi tersebut. Karena seingat saya, efektivitas komunikasi sebagian
besar terjadi karena peran komunikatornya, bukan komunikan (penerima pesan).
Karena komunikator adalah pihak yang aktif. Kalau pun ada peran komunikan di
dalamnya, pastilah peran yg pasif.
Karena artikel yg di-share di grup WhatsApp tsb
menggunakan banyak dalil keilmuan, sebagai lulusan Ilmu Komunikasi, saya pun gerah
sendiri dan berusaha mengingatkan diri sendiri mencari dasar keilmuan atas
bantahan yang saya sampaikan. Maka, saya membuka beberapa literatur yang sudah lama
nggak saya buka.
Hasilnya? Seperti yang saya sebut. Efektivitas komunikasi
terletak dari 'ahsan'-nya seorang komunikator menyampaikan pesan. Kalau pun ada
peran dari komunikan, hal itu terkait dengan kejelian komunikator
mempertimbangkan keadaan komunikan.
Berikut saya tuliskan beberapa teorinya. Silakan koreksi
jika saya salah.
Faktor yang mempengaruhi komunikasi menurut Scoot M
Cultip:
1. Kredibilitas Komunikator (utk bisa dipercaya oleh
komunikan)
2. Konteks (keadaan saat proses komunikasi berlangsung)
3. Konten (relevansi dg komunikan)
4. Kejelasan (mencakup kejelasan isi pesan, kejelasa
tujuan yang akan dicapai, kejelasan kata-kata (verbal) yang digunakan, dan
kejelasan bahasa tubuh (non verbal) yang digunakan)
5. Kesinambungan dan Konsistensi (pesan perlu disampaikan
secara terus menerus dan konsisten)
6. Kemampuan Komunikan
7. Saluran Distribusi (media yg digunakan utk komunikasi)
Dari 6 faktor, M Cultip hanya menyebut 1 kali peran
komunikan, yaitu kemampuan komunikan. Itu pun ternyata balik lagi, yang aktif
adalah komunikatornya. Komikator harus memperhatikan audiensnya, menggunakan
bahasa (baik verbal maupun non verbal) yang sesuai dan dipahami oleh audiens.
Faktor yang mempengaruhi komunikasi menurut Potter dan
Perry:
1. Perkembangan usia komunikan
2. Persepsi (yang terjadi di komunikan mengenai sesuatu,
yang dibentuk dari harapan dan pengalamannya yang bisa menyebabkan terhambatnya
komunikasi)
3. Nilai yang dianut komunikan
4. Latar belakang sosial budaya komunikan
5. Emosi
6. Pengetahuan komunikan
7. Peran (posisi komunikator dalam situasi terjadinya
komunikasi)
8. Lingkungan (saat komunikasi terjadi)
9. Jenis kelamin komunikan
10. Jarak (antara komunikan dan komunikator. Baik jarak
fisik maupun jarak hubungan sosial)
11. Citra Diri komunikator (makin baik citra sang
komunikator di depan komunikan, makin efektif komunikasinya)
12. Kondisi fisik (idem dengan poin no 11)
Dari banyak teori komunikasi, teori dari Potter dan Perry
inilah yg paling banyak menyoal faktor komunikannya. Namun, dari penjelasan
Potter dan Perry, faktor komunikan inilah yang justru harus dipertimbangkan
oleh komunikator utk membuat strategi agar proses komunikasi yang dilakukan
menjadi efektif. Bukan malah sebaliknya, menuntut komunikan aktif membuat
komunikasi menjadi efektif.
Misal, faktor perkembangan usia komunikan. Di sini kita
nggak bisa meminta komunikan untuk tiba-tiba menambah umurnya agar proses
komunikasi menjadi efektif. Melainkan, komunikator dituntut untuk menyesuaikan
cara penyampaian pesannya.
Begitu pula dengan faktor emosi komunikan. Peran aktif
komunimator-lah yang dituntut untuk membuat pesan efektif tersampaikan, bukan
menuntut komunikan menyesuaikan mood emosinya. Komunikator perlu mengkaji emosi
komunikan juga dirinya sendiri agar komunikan bisa menerima pesan/ informasi
dengan baik tidak salah tafsir dan mau mendengarkan pesan yang disampaikan.
Perihal kasus salah paham atau salah tafsir sering terjadi
pada saya ketika saya mengunggah foto di Instagram saya. Dari 500 orang yg
memberi respon 'love', saya yakin ada 500 pula perbedaan penafsiran pesan dari
foto yg saya unggah.
Lalu, apakah ini salah follower saya? Tentu bukan. Mereka
punya hak untuk mempersepsi sendiri pesan yg saya sampaikan berdasarkan
pengetahuan, tingkat intelektual, dlsb mereka. Namun, sebagai komunikator, kitalah
yang bertanggung jawab untuk aktif bijak memilih cara ahsan menyampaikan pesan,
cara ahsan memilih kosakata, cara ahsan memilih medianya, dlsb.
Prinsip ini, saya pikir bisa kita terapkan di kondisi
kita sekarang. Saat ada yang tak suka dengan public figure atau wakil rakyat
tertentu, jangan berharap mereka akan 'tobat' jika cara menasehati kita belum tepat
cara dan sasaran.
Wallohu alam.
No comments:
Post a Comment