Beberapa hari lalu, setelah menunaikan Zuhur bersama,
teman saya melontarkan bahan pembicaraan seputar kesedihannya pada kondisi
sesama pemeluk agama Islam di tanah air pasca-teror bom di Surabaya beberapa
waktu lalu.
Kondisi yang ia maksud adalah merebaknya pandangan
negatif pada pemeluk Islam di tanah air, terutama kepada sebagian golongan yang
menonjolkan penampilan muslimnya, semisal, bercadar, berjenggot, berbaju koko,
berpeci, dan lain sebagainya. Ia mendasarkan keprihatinannya ini setelah
melihat beberapa video yang beredar di Facebook yang menunjukkan ketakutan
polisi atau masyarakat pada perempuan bercadar dan laki-laki berbaju koko.
Terlepas dari keaslian video tersebut dan tujuan dari
video tersebut disebarkan, sebagai sesama muslim, saya pun merasakan kesedihan
yang sama. Ya, bukan nggak mungkin toh hal serupa terjadi pada saya jika suatu
saat nanti saya kebetulan sedang memakai baju koko dan peci lalu memanggul tas.
Namun, yang saya sesalkan dari kesedihan teman saya
adalah ia menyalurkannya dengan cara negatif. Secara nggak sadar, ia kemudian
mengutuk orang-orang yang memperlakukan hal tersebut ke wanita bercadar atau
lelaki berpeci tadi. Ia mengutuk semua orang yang berpandangan negatif dan
curiga pada orang yang mengenakan atribut keislaman.
Sampai di poin tersebut, walau saya merasa ada yang salah
dari sikap teman saya, saya memilih untuk diam karena saya nggak punya dasar
untuk membantahnya. Hingga akhirnya saya pulang kantor dan mendapati momen
sebuah mobil boks yang sedang memasuki area gedung kantor dan 'dipaksa' untuk
berhenti untuk melewati proses pemeriksaan isi boks mobilnya.
Bagi kita, pemandangan proses pemeriksaan mobil boks ini
adalah hal umum yang terjadi yang biasa kita temukan di gerbang-gerbang
perkantoran, hotel, mall. Sama umumnya seperti keharusan kita membuka pintu
mobil atau jok motor untuk diperiksa pihak keamanan saat memasuki areal gedung
perkantoran atau mall.
Baik kita, atau pun supir mobil boks ini, nggak pernah
komplain pada pihak keamanan gedung atau mall. Apalagi mengutuk mereka.
Padahal, yang mereka lakukan, mengusik privasi dan membuat kita repot.
Kita diam karena kita paham, bahwa yang mereka lakukan
adalah tindakan preventif untuk mencegah terjadinya hal-hal buruk yang mungkin
terjadi, seperti masuknya mobil boks, mobil, atau pun motor yang membawa bom.
Ya, seperti yang kita tahu, ketatnya penjagaan di pintu masuk gedung
perkantoran, hotel, atau pun mall ini memang mulai diperketat pasca meledaknya
bom di area Mega Kuningan, Jakarta, pada 2003 lalu.
Kita diam karena kita paham, bahwa ada pihak-pihak
tertentu, yaitu pengelola gedung, yang takut kalau gedung mereka bernasib sama
dengan gedung yang pernah 'kecolongan' dimasuki mobil boks atau tamu yang
membawa bom tanpa terdeteksi pihak keamanan.
Bagi saya, kondisi mobil boks ini mirip dengan kondisi
perempuan bercadar dan lelaki berpeci yang diceritakan teman saya tadi. Walau
pun memang rasanya nggak pas-pas amat dan 'kok ya tega menyamakan mobil boks
dengan sesama muslim', namun kita bisa menarik kondisi yang sama dari keduanya.
Pihak keamanan gedung melakukan hal tersebut didasari
pada perasaan takut dan khawatir 'kecolongan'. Perasaan tersebut mereka
wujudkan dalam bentuk tindakan preventif. Hal yang sama juga dilakukan oleh
beberapa orang yang merasa takut dan khawatir menjadi korban bom pula, ketika
melihat ada sebagian orang yang mempunyai ciri-ciri yang sama dengan ciri-ciri
pengebom yang media sebarkan.
Perasaan takut. Ya, pada dasarnya, kita nggak bisa
menyalahkan orang yang bergerak atas perasaan takutnya. Karena hal tersebut
adalah reaksi wajar untuk melindungi diri kita. Sama halnya sewajar seperti
kita yang terpaksa harus mematikan kecoa karena rasa takut kita kalau-kalau
kecoa tersebut terbang ke arah kita atau mengotori makanan kita.
Begitu pula, menurut saya, kita nggak boleh kemudian
mengutuk orang-orang yang takut dengan perempuan bercadar atau lelaki berpeci
dan berkoko. Terlebih sebagai seorang muslim yang dituntut untuk lebih
mengedepankan sifat-sifat yang baik ketimbang negatif.
Daripada mengutuk, saya lebih setuju untuk kita sesama
muslim terus menjadi public relation atau humas yang baik untuk agama ini.
Caranya dengan terus memperbanyak menunjukkan karya, keindahan akhlak,
prestasi, dan postingan di social media yang sanggup melawan terpaan berita di
media massa atau postingan negatif di social media sehingga sedikit demi
sedikit memupus sentimen negatif pada perempuan bercadar atau lelaki yang
mengenakan pakaian khas muslim.
Hal ini pula toh yang dicontohkan Nabi. Ketika ia
seringkali di-bully oleh kaum Quraisy dan Yahudi Mekkah dengan melemparinya
dengan kotoran dan hinaan. Nabi kita nggak mengutuk kelakuan mereka karena bisa
jadi ia paham kelakuan ini muncul sebagai akibat rasa takut mereka pada ajaran
yang ia bawa. Sebagai gantinya, Nabi tetap menyimpan rasa sayang yang kemudian
ia tunjukkan ketika sang yahudi ini sakit dengan cara menjenguknya.
Nabi mencontohkan pada kita cara untuk berempati.
Alih-alih menyimpan prasangka negatif, Nabi memilih untuk mencoba memahami apa
yang ada di pikiran dan dirasakan oleh orang yang membencinya. Tindakan ini
yang membuahkan sikap positif yang kemudian bisa ia salurkan seperti dorongan
air bah yang membawa kesegaran bagi orang-orang yang haus akan nilai-nilai
positif.
Saya percaya, munculnya masalah itu sejatinya bukan
karena ada pihak yang salah dan benar. Melainkan kedua pihak berpotensi salah.
Dalam kasus dimana ada segolongan orang yang takut pada lelaki berpeci dan
berbaju koko, keduanya berpotensi salah. Pihak yang takut jelas salah karena
mengekspresikan rasa takutnya dengan tindakan represif. Di lain sisi, pihak
yang berbaju koko juga menyumbang kesalahan dengan nggak bijak memilih pakaian
di momen yang sedang sensitif.
Di sisi lain, kita pun salah karena melihat kondisi ini
sebatas hitam-putih dan memenangkan pemikiran kita atas golongan kita sendiri.
Kita memilih abai untuk berlatih sikap empati pada orang lain dan memilih untuk
empati pada diri sendiri.
Tuhan melatih energi berpikir positif kita dengan banyak
cara. Saya yakin, beberapa ujian terorisme yang seakan ditujukan untuk framing
umat muslim ini adalah salah satu cara Tuhan untuk mendewasakan cara berpikir
kita. Terhadap sesama, terhadap semesta.
Wallohu alam.
No comments:
Post a Comment